Alasan Warga Yogyakarta Pro-Penetapan
Masyarakat Yogyakarta tidak diragukan lagi tingkat kecerdasannya, apalagi sebagai kota pelajar banyak masyarakat Yogyakarta yang telah mengenyam pendidikan tinggi, pendek kata warga Yogyakarta well educated people.
Pertanyaannya kenapa (seolah-olah) mayoritas masyarakat Yogyakarta pro-penetapan untuk menentukan kepala daerah provinsi (gubernur)?
Pertanyaannya kenapa (seolah-olah) mayoritas masyarakat Yogyakarta pro-penetapan untuk menentukan kepala daerah provinsi (gubernur)?
Masyarakat Provinsi DI Yogyakarta antara lain Jogja, Bantul,Sleman,Kulonprogo, dan Gunung Kidul dengan jumlah populasi sekitar 3,5 juta manusia. Sebagian besar 70 persen adalah petani dan buruh, 25 persen wiraswasta dan lima persen adalah PNS/dosen/anggota dewan, karyawan BUMN dan pekerja formal lainnya.
Dari demografi seperti itu saja sudah terbaca peta keadaan atau keinginan masyarakat Yogyakarta bila dikaitkan dengan pilihan pro penetapan atau pro-pemilihan untuk menentukan kepala daerah provinsi tersebut (baca gubernur).
Sosio-kultur masyarakat Yogyakarta khususnya kaum petani dan buruh yang setia dan menganggap sultan sebagai panutan dengan semboyan "pejah gesang nderek sultan" sangat kental terasa. Sedangkan di masyarakat Yogyakarta kelas menengah baik dalam arti ekonomi maupun intelektual/tingkat pendidikan akan terbagi menjadi 2 kelompok.
Kelompok ini yaitu pro-penetapan boleh dibilang kaum yang selama ini hidup nyaman dengan situasi sekarang dan disisi lain pro-pemilihan, orang-orang yang tertantang dengan intelektualitasnya dan ingin mendobrak kultur feodalisme yang masih berlaku di republik ini.
Amin Rais pada waktu masih menjadi ketua MPR pernah ditanya soal keistimewaan Yogyakarta yang substansinya adalah sultan (harus selalu) menjadi gubernur dan Sri Pakualam (harus juga) menjadi wakil gubernur Provinsi DI Yogyakarta. Amin mengatakan bahwa dia pada saatnya nanti akan "membereskan" masalah tersebut karena hal itu memang sudah tidak sesuai lagi dengan sistem demokrasi yang kita anut.
Tapi sampai Amin Rais lengser dari ketua MPR hal tersebut tidak atau belum pernah dilakukannya, jadi sebenarnya sudah ada niatan dari Amin Rais dan juga beberapa pemikir akademisi lainnya Prof Muchsan, alm.DR. Afan Gafar dari UGM dan lainnya, untuk mencari opsi-opsi yang solutif.
Pernyataan SBY dalam kaitannya dengan RUU Keistimewaan Yogyakarta sebenarnya hanyalah trigger dari bom waktu atas masalah tersebut.
Sudah banyak seminar dan diskusi yang diadakan oleh LSM maupun intelektual kampus tentang posisi gubernur di DI Yogyakarta ini, dan hasilnya ada semacam keinginan untuk mereformasi sistem feodalisme yang selam ini berlangsung.
Bagi orang-orang yang pro penetapan selalu mengandalkan faktor sejarah dengan mengatakan, bahwa sebelum NKRI ada kesultanan ngayogyokarto hadiningrat sudah ada.
Tapi mereka lupa kenapa sejarahnya demikian? kenapa kerajaan/kesultanan lain di nusantara yang mengadakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda dihancurkan, istananya dibakar dan anak turunannya dibunuh? Mungkin ada yang tidak dicatat dalam sejarah kenapa istana sultan dan sultan pada masa gubernur jenderal J.B. van Heutsz dibiarkan tetap eksis dan boleh dibilang ada hubungan khusus (kolaborasi)?
Periode tersebut adalah setelah masa Sultan Agung dan pangeran Diponegoro (1825-1830). Hal tersebut dapat dilihat dari letak keraton sultan di alun-alun utara dan markas militer gubernur jenderal Belanda (istana/gedong agung) di Jl Malioboro.
Bumi dan seisinya diciptakan Allah SWT untuk seluruh ummat manusia, demikian juga Yogyakarta siapapun boleh menjadi khalifah (pemimpin) di Yogyakarta.
Hal itulah yang melatar-belakangi bahwa pilihan pro pemilihan jauh lebih banyak manfaatnya dari pada mudharat bila dibandingkan penetapan.
Mungkin akan lebih jelas bila kita kupas masalah tersebut dengan 5 pertanyaan dibawah ini ;
1. Apakah dengan penetapan raja sebagai Gubernur akan membuat peningkatan kesejahteraan bagi warga Jogja?
2. Apakah siap dgn gubernur seumur hidup, belum tentu anak cucu kita setuju dengan penetapan?
3. Bila dalam perjalanan waktu sultan sebagai manusia biasa melakukan kesalahan, karena gubernur seumur hidup apakah sultan kebal hukum? Contohnya, kasus korupsi CDMA di pemprov DIY tahun 2005 di mana kasus tersebut di peti-es-kan)
4. Apakah anak-anak sultan yg perempuan semua bisa mengganti kedudukan sultan yang bergelar panotogomo (pemuka agama) dikaitkan dengan masyarakat Jogja mayoritas Muslim?
5. Bila dikemudian hari ada anak keturunan sultan yang cacat (jasmani/rohani) apakah karena sebagai turunan raja akan tetap dipaksakan sebagai gubernur DIY sedangkan banyak orang (biasa) Jogja lainnya yang lebih pintar dan pantas jadi gubernur?(tribunnews.com)
0 komentar:
Post a Comment